Rabu, 24 Desember 2008

Surat terakhir untuk bunda

“surat terakhir untuk bunda”
Ditulis pada Mei 29, 2008 oleh ibnufauzi

Aku terlahir dari sebuah kelurga yang sangat
sederhana, ayahku meninggal 10 tahun yang lalu,
tepatnya di usiaku yang ke-sepuluh, sehingga bunda
harus membanting tulang dengan menerima order jahitan
dari para tetangga. Tak jarang aku terbangun di tengah
malam karena suara berisik yang bersumber dari mesin
jahit, dan kulihat sosok bunda sedang sibuk
mengerjakan pesanan pelanggan yang harus di selesaikan
malam ini, karena akan di ambil pemiliknya keesokan
hari, sipa yang tak tergetar hatinya menyaksikan
pemandangan yang begitu menyedihkan, semua itu beliau
lakukan tak lain hanyalah demi sesuap nasi untuk
menghidupi aku dan ketiga adikku. Aku sendiri bekerja
sebagai pegawai part time di sebuah perusahan obat di
Surabaya, dengan gajiku yang sangat pas-pasan aku
memaksakan diri untuk kuliah walaupun di sebuah
sekolah tinggi swasta yang hampir nyaris tak terdengar
namanya. Semua itu ku lakukan demi mewujudkan
cita-cita besarku untuk membangun sebuah istana yang
akan ku persembhkan pada bunda.
Walaupun usiaku tak lagi kanak-kanak, perhatian bunda
padaku tak pernah pudar bagaikan mentari yang selalu
menyinari dunia. Bahkan hanya soal sepele, tak jarang
beliau tanyakan padaku, sering sekali beliau bertanya
dengan nada yang sangat lembut, siapapun akan merasa
senang karena mendengarnya, seraya memanggil namku
beliau bertanya “Dani, kamu sudah makan malam ? Jangan
lupa makan ya, nanti kamu masuk angin”. Aku selalu
malu pada diriku sendiri, di usiaku yang sudah
memasuki kepala dua, tak banyak yang dapat aku berikan
untuk keluargaku terutama bunda, aku malu hanya
menjadi benalu dalam kemiskinan yang tuhan anugrahkan
pada keluargaku.
Setengah abad sudah bunda mengarungi derasnya cobaan
dunia, dan selama itu pula hampir tak pernah ku lihat
beliau tersenyum gembira. matanya yang hitam cekung,
tubuhnya yang kurus, serta cara bicaranya yang gemulai
seakan menggambarkan betapa susah dan melelahkan hidup
yang beliau jalani. Mungkin orang yang melihat wajah
beliau akan berkesimpulan betapa menyedihkan hidup
yang wanita ini jalani. Tetapi dibalik itu semua,
beliau mempunyai semangat yang luar biasa, tak banyak
orang yang memiliki kepribadian seperti beliau.
sore ini beliau menasihatiku dengan penuh kelemah
lembutan yang langsung merenyuhkan hatiku, semua
persendianku terasa lemas karena mendengar nasihat
beliau, sambil mengusap-usap kepalaku beliau berkata
dengan lemah lembutnya “nak, janganlah kau menyerah
pada nasib dan jangan kau sia-siakan masa mudamu yang
amat berharga, bunda tidak mengharapkan apa-apa dari
kamu, kecuali kamu menjadi orang yang berguna bagi
dirmu, agama dan orang-orang di sekitarmu…”. Mendengar
nasehat dari beliau yang amat bersahaja, tak sanggup
lagi aku menahan jatuhnya tetesan air mata, sipapun
pasti akan tergugah mendengar kata-kata beliau.
Semalam suntuk aku terbaring di atas kasur kapuk
yang sudah sangat kusam warnanya serta dihiasi dengan
beberapa tamblan di sisi kiri dan kanannya, tak
sanggup rasanya aku memjamkan mata mengingat nasehat
beliau yang begitu bijaksana. Dalam renunganku aku
menulis diatas sebuah buku diari yang biasa menemani
hari-hariku. Baris demi baris tinta kugoreskan di
atasnya, pada bagian judul ku tuliskan “SURAT UNTUK
TERAKHIR BUNDA” …aku pun tak mengerti apa alasan ku
menuliskan judul seperti itu, tak ada firasat buruk
yang muncul di benakku, tiba-tiba tanganku bersikeras
menulis kumpulan kata tersebut. Dan aku pun terus
menulis baris demi baris

Bunda, ananda ucapkan terimaksih yang
sebesar-besarnya atas semua yang bunda berikan pada
anak mu ini. bunda, ananda sangat bangga memiliki
orang tua sesempurna bunda. Namun tak sedikitpun
kebaikan yang ananda persembahkan pada bunda. ananda
malu pada diri ananda sendiri karena di usiku yang
tidak lagi kanak-kanak, anda hanya bisa menjadi beban
buat bunda. terkadang ananda berpikir mungkin akan
lebih baik jika ananda meninggalkan dunia agar beban
bunda sedikit lebih ringan.
Bunda, maafkan ananda jika selama ini tiada kebaikan
yang dapat ananda persembahkan untuk bunda. Bunda,
sejuta harapan ananda untuk membuat bunda bahagia.
Bunda, ananda selalu berharap agar kelak suatu hari
nanti ananda bisa mempersembahkan istana yang maha
megah beserta para pekerjanya untuk bunda, agar bunda
tidak lagi bersusah payah mencuci baju dan menyapu
rumah serta menjahit pesaan para tetangga. Dan ku
panjatkan doa pada yang kuasa supaya ananda diberikan
kepanjangan usia, agar ananda bisa mewujdkan semua
cita-cita.

Pada baris terakhir, mata ku mulai merasa kelelahan
dan aku pun tertidur pulas berbantalkan diari yang
sering menemani tidur malam ku.

<<<<<>>>>>

hari ini adalah jadwalku untuk mengantarkan jahitan
yang di pesan bu salam tiga hari yang lalu. Seperti
biasa aku berangkat dengan mengendarai motor tua
warisan mendiang ayahku, tak lupa pula aku mencium
tangan bunda sebelum berangkat sebagai simbol doa
restu yang diberikan beliau pada ku. Pagi ini agak
sedikit berbeda dari hari biasanya, pagi ini kudekap
bunda dan kucium tangannya dengan penuh takdzim, aku
khawatir ini adalah saat terakhirku meraskan kasih
sayangnya.
Dalam perjalanan hatiku terasa sangat gundah, bebagai
pikiran pun bermuculan satu persatu di benakku, wajah
mendiang ayah tiba-tiba saja muncul di pikiranku, tak
lama kemudian wajah bunda ikut menghiasi bayangan di
kepalaku, aku pun merasa sangat rindu kepadanya …ah,
rasanya ingin sekali aku lekas pulang dan kembali
bercengkrama seperti biasanya. Aku pun mulai melaju
dengan kencang, tapi sungguh naas, aku tak sadar ada
truk bermuatan pasir yang juga melaju kencang
berlawanan arah dengan ku, dan sialnya aku tak dapat
menghindar dari hantaman keras truk tersebut, tubuhku
pun terpental sejauh 6 meter dari tunggangan warisan
mendiang ayahku, aku merasa dingin menjamah selurh
tubuhku, dan kurasakan darah segar yang mengaliri
kepala dan hidungku, aku pun mulai lemas dan
mengerang…tiada lagi yang dapat ku lakukan, sambil
menetskan air mata, dalam hati aku berucap “bunda,
maafkan ananda yang tak bisa mewujudkan cita-cita,
maafkan ananda yang belum bisa membangun istana untuk
bunda, bunda…sungguh ananda tak kuasa meninggalkan
bunda berjuang sendirian menerjang kerasnya gelombang
kehidupan. Bunda rindu hati ini untuk segera bertemu
bunda. Ingin rasanya ananda kembali memeluk tubuh dan
mencium tangan bunda, sebagai simbol keridoan bunda
atas kepergian ananda.
Rasa dingin yang menjalar tubuhku semakin menjadi, tak
lagi kurasakan darah mengalir di tubuh, tubuhku tak
lagi dapat digerakkan dan dalam erangan terakhir, aku
berucap ”Selamat tinggal bunda, maafkan hamba yang tak
lagi bisa menemani bunda”