Minggu, 28 Desember 2008

Rabu, 24 Desember 2008

jika usia senja telah datang

tak pernah terpikirkan olehku bagaimana aku bisa telahir di dunia ini, aku bingung ekspresi apakah yang pantas aku ungkapkan, bahagia, gembira, atau malah penyesalan yang teramat dalam…di satu sisi aku bersyukur, karena itu merupakan perintah agama yang mutlak, tapi di lain sisi aku menyesal, karena kelak aku kan diminta pertanggung jawaban atas apa saja yang pernah ku lakukan di dunia, walaupun usiaku masih tergolong muda, tak jarang aku selalu memikirkan dan membayangkan bagaimanakah masa depan yang akan aku hadapi kelak??? akankah aku menjadi orang yang dibutuhkan masyarakat??atau malah hanya menjadi ’sampah’ bagi masyarakat…? semua pertanyaan itu seakan menghantuiku, membuatku sulit untuk memjamkan mata di malam hari dan sering kali menghabiskan waktu hanya untuk merenung dan merenung…
dan jika usiku telah senja nanti, apakah yang bisa ku perbuat…?apakah hanya duduk termenung di atas sebuah kursi goyang sambil menyeseli nasib yang menimpa diriku, dan hanya bisa menangisi penyesalan atas dosa-dosa yang pernah ku perbuat…???
dan bila usiaku telah senja, akan kah ada orang yang peduli akan penderitaan yang aku alami, adakah orang yang mau walau hanya sekedar memberi ku sedikit perhatian…???
dan bila usiaku telah senja, penglihatanku mulai kabur, gigiku mulai ompong, rambut putih mulai menghiasi warna rambutku, masihkah tuhan memberikan kesempatan pada ku agar aku mau bertobat, dan apakah semua amalku akan diiterima…???
dan jika usiaku telah senja, ribuan penyakit mulai membunuh syaraf tubuhku sedikit demi sedikit, dan bila sekarat yang paling menyakitkan telah datang, kematian yang menakutkan telah menghujam, akankah semua penyesalan akan bermanfaat di hari penghitungan…??? dan apakah ada bekal yang aku miliki untuk kembali ke ‘tanah’, kampung halaman setiap insan….
tubuhku terguncang hebat dalam kegelisahan yang sangat…
aku bagaikan setan yang terjebak dalam diri manusia, yang sekan tak kan pernah takut melakukan dosa,,,tak pernah terbayangkan bila masa senja datang aku hanya bisa menangis dan menangisi penyesalan yang teramat dalam, mengapa aku dilahirkan dan hanya untuk bebuat kenistaan…tiada shalat tepat waktu yang pernah ku laksanakan, tiada hiasan tahujjud di tengah malam, dan tiada pula indahnya alunan qur’an yang pernah ku lantunkan…
dan bila jika usiaku telah senja, adakah suatu yang dapat kubanggakan???
dan jika ajalku telah benar-benar datang akan kah aku ‘pulang’ dengan penuh senyumaan di haribaan tuhan semesta alam…
dan tiada lagi yang dapat ku harapkan kecuali rasa kasihan, dan penyesalan yang teramat dalam…!!!

Surat terakhir untuk bunda

“surat terakhir untuk bunda”
Ditulis pada Mei 29, 2008 oleh ibnufauzi

Aku terlahir dari sebuah kelurga yang sangat
sederhana, ayahku meninggal 10 tahun yang lalu,
tepatnya di usiaku yang ke-sepuluh, sehingga bunda
harus membanting tulang dengan menerima order jahitan
dari para tetangga. Tak jarang aku terbangun di tengah
malam karena suara berisik yang bersumber dari mesin
jahit, dan kulihat sosok bunda sedang sibuk
mengerjakan pesanan pelanggan yang harus di selesaikan
malam ini, karena akan di ambil pemiliknya keesokan
hari, sipa yang tak tergetar hatinya menyaksikan
pemandangan yang begitu menyedihkan, semua itu beliau
lakukan tak lain hanyalah demi sesuap nasi untuk
menghidupi aku dan ketiga adikku. Aku sendiri bekerja
sebagai pegawai part time di sebuah perusahan obat di
Surabaya, dengan gajiku yang sangat pas-pasan aku
memaksakan diri untuk kuliah walaupun di sebuah
sekolah tinggi swasta yang hampir nyaris tak terdengar
namanya. Semua itu ku lakukan demi mewujudkan
cita-cita besarku untuk membangun sebuah istana yang
akan ku persembhkan pada bunda.
Walaupun usiaku tak lagi kanak-kanak, perhatian bunda
padaku tak pernah pudar bagaikan mentari yang selalu
menyinari dunia. Bahkan hanya soal sepele, tak jarang
beliau tanyakan padaku, sering sekali beliau bertanya
dengan nada yang sangat lembut, siapapun akan merasa
senang karena mendengarnya, seraya memanggil namku
beliau bertanya “Dani, kamu sudah makan malam ? Jangan
lupa makan ya, nanti kamu masuk angin”. Aku selalu
malu pada diriku sendiri, di usiaku yang sudah
memasuki kepala dua, tak banyak yang dapat aku berikan
untuk keluargaku terutama bunda, aku malu hanya
menjadi benalu dalam kemiskinan yang tuhan anugrahkan
pada keluargaku.
Setengah abad sudah bunda mengarungi derasnya cobaan
dunia, dan selama itu pula hampir tak pernah ku lihat
beliau tersenyum gembira. matanya yang hitam cekung,
tubuhnya yang kurus, serta cara bicaranya yang gemulai
seakan menggambarkan betapa susah dan melelahkan hidup
yang beliau jalani. Mungkin orang yang melihat wajah
beliau akan berkesimpulan betapa menyedihkan hidup
yang wanita ini jalani. Tetapi dibalik itu semua,
beliau mempunyai semangat yang luar biasa, tak banyak
orang yang memiliki kepribadian seperti beliau.
sore ini beliau menasihatiku dengan penuh kelemah
lembutan yang langsung merenyuhkan hatiku, semua
persendianku terasa lemas karena mendengar nasihat
beliau, sambil mengusap-usap kepalaku beliau berkata
dengan lemah lembutnya “nak, janganlah kau menyerah
pada nasib dan jangan kau sia-siakan masa mudamu yang
amat berharga, bunda tidak mengharapkan apa-apa dari
kamu, kecuali kamu menjadi orang yang berguna bagi
dirmu, agama dan orang-orang di sekitarmu…”. Mendengar
nasehat dari beliau yang amat bersahaja, tak sanggup
lagi aku menahan jatuhnya tetesan air mata, sipapun
pasti akan tergugah mendengar kata-kata beliau.
Semalam suntuk aku terbaring di atas kasur kapuk
yang sudah sangat kusam warnanya serta dihiasi dengan
beberapa tamblan di sisi kiri dan kanannya, tak
sanggup rasanya aku memjamkan mata mengingat nasehat
beliau yang begitu bijaksana. Dalam renunganku aku
menulis diatas sebuah buku diari yang biasa menemani
hari-hariku. Baris demi baris tinta kugoreskan di
atasnya, pada bagian judul ku tuliskan “SURAT UNTUK
TERAKHIR BUNDA” …aku pun tak mengerti apa alasan ku
menuliskan judul seperti itu, tak ada firasat buruk
yang muncul di benakku, tiba-tiba tanganku bersikeras
menulis kumpulan kata tersebut. Dan aku pun terus
menulis baris demi baris

Bunda, ananda ucapkan terimaksih yang
sebesar-besarnya atas semua yang bunda berikan pada
anak mu ini. bunda, ananda sangat bangga memiliki
orang tua sesempurna bunda. Namun tak sedikitpun
kebaikan yang ananda persembahkan pada bunda. ananda
malu pada diri ananda sendiri karena di usiku yang
tidak lagi kanak-kanak, anda hanya bisa menjadi beban
buat bunda. terkadang ananda berpikir mungkin akan
lebih baik jika ananda meninggalkan dunia agar beban
bunda sedikit lebih ringan.
Bunda, maafkan ananda jika selama ini tiada kebaikan
yang dapat ananda persembahkan untuk bunda. Bunda,
sejuta harapan ananda untuk membuat bunda bahagia.
Bunda, ananda selalu berharap agar kelak suatu hari
nanti ananda bisa mempersembahkan istana yang maha
megah beserta para pekerjanya untuk bunda, agar bunda
tidak lagi bersusah payah mencuci baju dan menyapu
rumah serta menjahit pesaan para tetangga. Dan ku
panjatkan doa pada yang kuasa supaya ananda diberikan
kepanjangan usia, agar ananda bisa mewujdkan semua
cita-cita.

Pada baris terakhir, mata ku mulai merasa kelelahan
dan aku pun tertidur pulas berbantalkan diari yang
sering menemani tidur malam ku.

<<<<<>>>>>

hari ini adalah jadwalku untuk mengantarkan jahitan
yang di pesan bu salam tiga hari yang lalu. Seperti
biasa aku berangkat dengan mengendarai motor tua
warisan mendiang ayahku, tak lupa pula aku mencium
tangan bunda sebelum berangkat sebagai simbol doa
restu yang diberikan beliau pada ku. Pagi ini agak
sedikit berbeda dari hari biasanya, pagi ini kudekap
bunda dan kucium tangannya dengan penuh takdzim, aku
khawatir ini adalah saat terakhirku meraskan kasih
sayangnya.
Dalam perjalanan hatiku terasa sangat gundah, bebagai
pikiran pun bermuculan satu persatu di benakku, wajah
mendiang ayah tiba-tiba saja muncul di pikiranku, tak
lama kemudian wajah bunda ikut menghiasi bayangan di
kepalaku, aku pun merasa sangat rindu kepadanya …ah,
rasanya ingin sekali aku lekas pulang dan kembali
bercengkrama seperti biasanya. Aku pun mulai melaju
dengan kencang, tapi sungguh naas, aku tak sadar ada
truk bermuatan pasir yang juga melaju kencang
berlawanan arah dengan ku, dan sialnya aku tak dapat
menghindar dari hantaman keras truk tersebut, tubuhku
pun terpental sejauh 6 meter dari tunggangan warisan
mendiang ayahku, aku merasa dingin menjamah selurh
tubuhku, dan kurasakan darah segar yang mengaliri
kepala dan hidungku, aku pun mulai lemas dan
mengerang…tiada lagi yang dapat ku lakukan, sambil
menetskan air mata, dalam hati aku berucap “bunda,
maafkan ananda yang tak bisa mewujudkan cita-cita,
maafkan ananda yang belum bisa membangun istana untuk
bunda, bunda…sungguh ananda tak kuasa meninggalkan
bunda berjuang sendirian menerjang kerasnya gelombang
kehidupan. Bunda rindu hati ini untuk segera bertemu
bunda. Ingin rasanya ananda kembali memeluk tubuh dan
mencium tangan bunda, sebagai simbol keridoan bunda
atas kepergian ananda.
Rasa dingin yang menjalar tubuhku semakin menjadi, tak
lagi kurasakan darah mengalir di tubuh, tubuhku tak
lagi dapat digerakkan dan dalam erangan terakhir, aku
berucap ”Selamat tinggal bunda, maafkan hamba yang tak
lagi bisa menemani bunda”

Senin, 08 Desember 2008

SIAPA MENANAM, PASTI AKAN MENUAI

Tulisan ini hanyalah sebuah renungan kecil, atas pengalaman saya beberapa waktu lalu ketika menjenguk keponakan yang sedang “mondok” di salah satu pesantren tahfidz di kudus, jawa-timur. Di salah satu sisi tembok, tepampang sebuah tulisan yang cukup membuat saya menginstrospeksi dan bertanya-bertanya kepada diri saya sendiri, tulisan itu cukup mengagetkan saya dan mengingatkan saya pada masa-masa waktu ssekolah di pesantren dulu. Tulisan itu berisi peringatan dan ancaman, yang kira-kira bunyinya seprti ini “barang siapa yang menggap remeh gurunya, maka Allah akan menurunkan tiga bala kepadanya; 1. akan dilupakan segala apa yang pernah ia hafalakan dan pelajari, 2. Allah akan memotong lisannya, 3. dan hingga akhirnya dia menjadi orang yang paling fakir. Setelah membaca tulisan tersebut dalam hati, saya langsung istighfar, saya ingat waktu di sekolah dulu, bukan hanya mengaggap remeh, tapi juga kami sering mengumpat dalam hati sebagai eksperesi kekesalan, bahkan pula tak jarang menirukan gaya, cara bicara dan berjalan mereka.
Jika peringatan itu dikaitkan dengan keadaan saya sekarang, saya merasa peringatan itu mungkin ada benarnya, karena saya merasakan akibat yang juga telah disebutkan di atas selama 6 tahun di pesantren sudah barang tentu tidak sedikit ilmu yang yang saya peroleh selam menempuh pendidikan di sana, namun seeakan semua itu tak membekas sama sekali dalam diri saya, mungkin karena dulu saya sering sekali meremehkan para guru yang pernah mengajar saya.
Di dalam dunia kampus tak sedikit organisasi yang saya ikuti untuk melatih dan membisaakan diri berbicara di depan orang banyak, namun tetap saja usaha itu hamper tidak membuahkan hasil, dan lagi-lagi saya kembali berfikiran mungkin ini imbas dari kelaukuan kurang ajar kepada para guru. Saya membatin dalam diri, dan sangat menyesal atas apa yang pernah saya lakukan, andaikan waktu bisa berulang kembali hal ini pasti tak akan pernah saya lakukan. Namun nasi telah menjadi bubur, penyesalan bukanlah obat yang mujarab untuk menebus kesalahan, yan saya bisa lakukan sekarang hanyalah pasrah dan terus berusaha agar semuanya bisa berjalan dengan baik.
Dua imbas dan bala mungkin telah menimpa diri saya, dan bala’ terakhir adalah yang paling menakutkan, menjadi orang yang paling fakir, mungkin yang ketiga ini belum Allah timpakan kepada saya, dan selalu berharap dan berdoa agar bala’ yang ketiga ini jangan samapi “singgah” dalam kehidupan saya.
Ini adalah pengalaman peribadi yang saya alami, dan tak menutup kemungkinan oula ini juga anda dan banyak orang alami, namun anda dan banyak orang tersebut tak pernah menyadarinya, saya mengajak kepada para pembaca untuk merenung sejenak tentang kehidupan yang kita alami sekarang dan kita kaitkan dengan apa yang pernah kita lakukan di masa silam. Jika kita mendapati sisi negative dengan apa yang kita alami sekarang, bisa jadi hal itu berkaitan dengan kejadian atau perbuatan yang pernah kita lakukakan, begitupun sisi positif yang kita alami sekarang tak menutup kemungkinan itu merupakan balasan atas kebaikan yang pernah pula kita lakukan, anda ingat istilah yang sering terjadi di film India tentang “hokum karma”, mungkin itu istilah yang cocok dengan kejadia-kejadian yang berkaitan dalam kehidup kita sekarang dan di masa silam.
Zig Ziglar, seorang motivator ternama pernah mengatakan bahwasannya apa yang kita tanam sekarang maka itulah yang akan kita panen di masa mendatang. Jika kita menanam benih padi, maka kita akan memanen padi di masa yang akan datang, begitupula jika sekarang kita menanam benih kebencian dan rasa dendam, sudah pasti itulah yang akan kita panen di masa depan.
Oleh karenanya sebagai makhluk social seharusnya kita menyadari bahwasannya kita hidup di tengah masyarakat yang multi sifat, kita dan juga mereka punya perasaan, sudah seharusnyalah kita mulai bebenah dan kembali menata diri bagaimana seharusnya kita bersikap terhadap orang lain, jangan sampai karena perbuatan atau perkataan kita yang kurang berkenan membuat perasaan mereka terganggu, jika sudah perasaan yang dirusak, maka akan sulit memperbaikinya, jika ini sudah terjadi tak menutup kemungkinan rasa dendam dan kebencian akan timbul, Karena kita sendiri yang menanm benihnya.
Ini hanyalah sebuah tulisan yang sangat singkat, namun tak ada salahnya jika kita mengambilnya sebagai bahan introspeksi diri kita masing-asing. Mudah-mudahan tulisan yang singkat ini dapat memberikan manfaat buat kita semua walau hanya sebesar biji sawi. Wallahu’alam